Jampidum Kejagung Setujui Restorative Justice bagi Pengguna Narkotika di Padang Panjang

Tempo.ID, Jakarta – Dalam langkah progresif terhadap sistem peradilan pidana, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyetujui permohonan restorative justice dalam kasus tindak pidana narkotika di Padang Panjang. Keputusan ini diumumkan dalam ekspose perkara pada Kamis, 13 Maret 2025.

Kasus yang disetujui untuk penyelesaian melalui keadilan restoratif adalah perkara Muhammad Iqbal bin Hendrison, tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Alasan Disetujuinya Restorative Justice

JAM-Pidum menegaskan bahwa keputusan ini didasarkan pada beberapa faktor utama, di antaranya:
✔ Tersangka terbukti sebagai pengguna terakhir (end user) dan tidak terkait dengan jaringan peredaran gelap narkotika.
✔ Hasil laboratorium forensik menunjukkan tersangka positif menggunakan narkotika, namun bukan sebagai bandar atau pengedar.
✔ Tidak termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan tidak memiliki catatan kriminal berat.
✔ Berdasarkan asesmen terpadu, tersangka diklasifikasikan sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika, sehingga lebih tepat mendapat rehabilitasi daripada hukuman pidana.
✔ Belum pernah atau baru satu kali menjalani rehabilitasi, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan resmi dari pihak berwenang.

Dengan pertimbangan tersebut, JAM-Pidum meminta Kepala Kejaksaan Negeri Padang Panjang untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Restorative Justice: Pendekatan Baru dalam Penanganan Narkotika

Keputusan ini selaras dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021, yang menegaskan bahwa pendekatan keadilan restoratif dapat diterapkan dalam kasus penyalahgunaan narkotika. Tujuannya adalah untuk mengutamakan rehabilitasi bagi pengguna yang bukan bagian dari jaringan peredaran gelap narkoba.

“Kami ingin memastikan bahwa pengguna narkotika yang bukan pengedar atau bandar mendapatkan penanganan yang lebih tepat, yakni rehabilitasi, bukan hukuman penjara. Ini adalah bagian dari upaya humanis dan progresif dalam sistem peradilan kita,” tegas Prof. Asep Nana Mulyana.

Dengan langkah ini, diharapkan semakin banyak kasus serupa dapat diselesaikan dengan pendekatan yang lebih bijaksana dan berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar penghukuman.
(Mul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *